“Blood, Sweat and Tears”

photogrid_1476532142675

 

Author: Mincha
Cast: BTS Jimin, an angle
Genre: Romance, NC, rateM, Fantasy.
Length: oneshoot
Poster by: Mincha
Editor: bts_jhvia

 

 

Yo! Pas dengar sama nonton MV blood, sweat and tears pikiran author berubah negative, apalagi pas baca liriknya, dan pas bagian Jimin, author melting.

 

Please… I’m not a pro… jadi mohon di maafkan jika terkadang ff author kurang bagus karena masih perlu banyak belajar. Lebih enak nulis oneshoot karena bisa selesai dalam sehari, soalnya yang berchapter sudah berbulan-bulan masih belum ending, susah T.T

Jimin pov

 

Aku menatap lagi gadis itu, sayap hitamnya yang mengepak degan sangat lebar berkilau di bawah cahaya rembulan. Ia menghadap pada dinding kaca yang mengizinkan cahaya sang bulan menembus menuju dirinya. Kulitnya bersinar tak tertahankan begitu menawan. Aku masih mengawasinya saat ia menikmati kekuatan mengalir menuju tubuhnya dari cahaya malam itu. Ia sudah menunggu sangat lama untuk mendapatkan cahaya yang hanya muncul beberapa kali karena cuaca yang tak bersahabat. Aku masih teringat betapa ia begitu lemah saat energinya terus terkuras setiap harinya tanpa bisa di gantikan oleh makanan apapun, hanya dua hal yang bisa membuatnya tetap hidup, cahaya bulan dan satu lagi, satu hal lagi yang selalu ingin aku berikan tapi ia tetap menolaknya.

 

Ia tersenyum lebar dan menghirup udara begitu dalam sebelum melepaskannya secara perlahan. Apa cahaya bulan itu begitu hebat hingga bisa membuat ia mengabaikanku? Padahal aku sudah duduk di sini sejak tadi dan ia mengabaikanku 1001%. Tapi aku tak berniat sedikitpun mengusik waktunya, ia sudah menunggu begitu lama untuk bisa bermandikan cahaya bulan dan mengepakkan sayap legamnya. Selama ini dua benda indah itu hanya tersembunyi di dalam punggungnya karena ia tak punya cukup energi untuk mengeluarkan dan mengepakkannya membuat ia terjebak menjadi seorang manusia biasa yang bahkan tidak bisa merasa kenyang dengan makanan.

 

Sudah lewat tengah malam saat ia mulai menyadari bahwa aku masih di sini menyaksikannya. Ia menatapku dan tersenyum dengan begitu manisnya, dia lebih indah dari cahaya bulan, ia bahkan lebih gemerlap dari benda bulat berlubang itu yang tak pernah mampu mengalihkan pandanganku darinya. Ia berjalan mendekat dan duduk di sebelahku masih dengan sayap lebarnya, ia sangat berhati-hati agar kedua sayap indah itu tidak mengenai dan menyakitiku. Ia duduk menyamping dan berhadapan denganku masih bersama senyum yang mengukir indah di wajah porselennya.

 

“Kau tidak pernah secantik ini”

 

Pujianku berhasil membuat wajah indahnya merona semakin manis memaksa bibirku menarik seulas senyum.

 

“Aku tidak pernah merasa sehidup ini, rasanya sangat mengerikan saat aku hanya tergeletak tidak berdaya di atas ranjang tanpa ada yang bisa kita lakukan”

 

Yah… aku kembali flashback menuju kemarin saat ia terbaring lemah dan aku tidak bisa melakukan apapun, tidak akan ada obat yang bisa menyembuhkan dan memberikannya energi untuk bertahan hidup. Aku sangat bersyukur bulan bisa bersinar sangat baik malam ini dan ia bisa mengembalikan kekokohan dirinya.

 

“Apa kau sudah selesai? Bulannya tidak akan bersinar lebih lama lagi”

 

Ia mengangguk,

 

“Aku akan bertahan untuk beberapa hari ke depan”

 

Aku menyentuh wajah itu menikmati betapa menawannya dia, tidak pucat seperti biasanya.

 

“Kau membuat dadaku sesak”

 

Ia terkejut mendengarkan penuturanku, terlihat jelas dari perubahan ekspresinya yang mendadak.

Aku menghembuskan nafasku pelan sebelum tersenyum padanya.

 

“Bagaimana bisa kau membuatku seperti ini?”

 

Aku menarik salah satu tangannya, meletakkan di dadaku yang begemuruh karenanya. Aku sudah bertemu dengan banyak sekali wanita tapi tak ada yang bisa membuatku seperti ini.

 

“Berhentilah menggodaku Jimin…”

 

Aku terkekeh pelan dan ia tersenyum malu di depanku.

 

Tanganku masih di wajahnya dan kami terjebak dalam diam, aku tidak bisa menahan diriku dari menatap wajah sempurna itu. Ibu jariku menyentuh bibir lembutnya mengirimkan getaran luar biasa di tubuhku, aku bahkan hanya menyentuhnya dengan salah satu jariku saja dan dia telah bisa membuat diriku menjadi seperti ini. Aku menggigit bibirku sendiri saat rasa gugup tiba-tiba menyergap,sebelumnya aku tak pernah segugup ini di depan perempuan.

 

“Apa aku boleh menciummu?”

 

Mataku beralih dari bibirnya menuju mata hijaunya.

 

“Apa kau masih harus bertanya dulu?”

 

Dan aku benar-benar tak bisa menahan diriku lagi. Bibirku menyentuh bibir lembutnya seolah aku baru saja mendarat di surga. So amazing, sangat lembut dan manis. Bibirku bergerak pelan pada bibir manisnya dan menghisap bibir bawahnya melumat sangat pelan, apa ciuman bisa semanis ini? Aku baru tahu. Aku sudah pernah berciuman beberapa kali, bahkan puluhan perempuan tapi tidak pernah semanis ini. Hasrat mendorongku lebih kuat, tanganku yang lainnya bergerak lebih lihai di pinggangnya menariknya ke atas pangkuanku sementara tangan satunya memastikan ia tidak melepaskan ciuman kami yang semakin panas. Tangannya memegang bahuku erat saat lidahku melesat menjelajahi seluruh isi rongga mulutnya.

 

“Nghh….”

 

Ia melenguh pelan saat tanganku menyentuh bagian punggung di bawah sayapnya yang terekspos karena kaos tidur yang ia kenakan sobek oleh sayapnya. Adrenalinku memacu kencang merusak system kerja otakku saat tanganku bersiap menarik kaosnya lepas.

 

“Jimin”

 

Tangannya menahan tanganku dan sapaannya melepaskan tautan bibir kami.

 

It’s ok. Aku akan baik-baik saja”

 

Aku mencoba meyakinkannya tapi sepertinya aku tidak akan berhasil seperti sebelum-sebelumnya.

 

“Aku belum siap…”

 

Kau mungkin berfikir aneh saat seharusnya dialah yang berucap demikian, bukan aku, seharusnya dialah yang akan merasa sakit, bukan aku. Namun begitulah kenyataannya. Aku ingin sekali menyentuhnnya lebih banyak lagi dan aku yakin ia juga demikian tapi kami tidak pernah lebih dari sekedar hot make out session karena ia selalu menolakku. Alasannya membuatku selalu bertanya seberapa sakit aku dibuatnya dan seberapa sulit hal itu.

 

Biar aku ceritakan…

 

Dia adalah seorang makhluk langit yang jatuh ke bumi karena peperangan beberapa kelompok malaikat dan demon, terdengar mustahil tapi demikian yang ia ceritakan padaku. Ia tidak bisa kembali ke langit untuk saat ini karena kondisi di sana masih sangat kacau dan bumi adalah tempat teraman. Tapi tinggal di bumi bukanlah hal yang mudah untuknya, ia tidak bisa mendapatkan energy dari makanan seperti halnya manusia. Hanya ada dua hal yang bisa memberikannya kehidupan, cahaya bulan dan menghisap energi manusia. Menghisap energy manusia di sini bukanlah seperti vampire yang kau bayangkan, lebih rumit dari hal itu. Ia hanya bisa menghisap energi dari manusia laki-laki dan hanya bisa mendapatkannya dari berhubungan sex. Ya… seharusnya kami sudah melakukannya sejak lama dan tidak membiarkan ia terbaring lemah menantikan cahaya bulan sementara aku hanya bisa menangis meratapinya. Tapi tidak semudah itu, permasalahannya adalah ia belum pernah melakukan hubungan seks dan sejenisnya karena di langit ia tidak perlu melakukan hal itu sebab bulan bisa terlihat sangat mudah, selain itu konflik yang terjadi membuat ia lebih sibuk untuk menyelamatkan diri daripada memikirkan hal semacam bercinta. Dan karena aku seorang manusia, ia bilang bisa sangat menyakitkan untukku saat pertama kami memulainya karena ia akan menghisap aura dan bagian dari jiwaku ke dalam tubuhnya. Aku pernah menawarkannya, lagi pula itu hanya terjadi saat pertama saja tapi ia terlalu takut untuk menyakitiku sehingga kami tak pernah melakukan lebih jauh dari sekedar berciuman.

 

******

 

Aku mengacak rambutku frustasi setelah membaca beberapa informasi dari laptopku. Badai dan cuaca buruk akan berlangsung hingga akhir bulan dan bisa dipastikan bulan tidak akan terlihat. Aku menatapnya yang tengah asik menyaksikan layar bergerak di hadapannya, ia bilang televisi adalah hal paling menakjubkan yang di buat manusia karena seluruh isi dunia bisa terlihat pada kotak elektronik itu. Menyadari kegelisahanku, ia mematikan TV dan berjalan ke arahku, duduk di sebelahku. Ia terlihat seperti gadis biasa tanpa sayap yang mengepak di punggungnya, ia bilang mengeluarkan sayapnya bisa memakan banyak energi. Ia menatap layar laptop tapi aku tahu ia tidak mengerti apapun karena ia tidak bisa membaca tulisan manusia.

 

“Apa bulan tidak akan terbit?”

 

“Badai dan cuaca buruk akan menimpa kota ini dan berkemungkinan hingga akhir bulan”

 

Ia terlihat berfikir kemudian mengangguk.

 

“Aku hanya perlu sedikit lebih sabar dari yang kemarin ini”

 

Aku meletakkan laptopku di atas meja dan kembali duduk di sofa di sebelahnya.

 

“Apa kau kira aku sanggup melihatmu menderita seperti saat itu? rasanya setiap nafas yang kau Tarik menarikku semakin dekat pada kematian. Aku lebih takut dari pada kau”

 

Kalimatku berhasil membuat ia terdiam dan menatapku dengan wajah polosnya.

 

“Kita bahkan tidak bisa meninggalkan Negara ini dan membawamu ke tempat lain, dimana bulan bisa terlihat lebih baik”

 

Tentu saja, ia tidak memiliki kartu identitas apalagi passport. Ia terdiam dan menunduk, memainkan jemarinya dengan gelisah, aku tahu dia juga tidak suka dengan kondisi saat ia lemah dan tak berdaya, berfikir mungkin kematian bisa saja datang secara mendadak.

 

Kemudian sesuatu terlintas di otakku dan aku yakin ia paham apa yang sedang aku fikirkan karena sekarang ia juga menatapku dengan matanya yang membulat.

 

“Tidak! Kita tidak akan melakukannya”

 

“Kenapa? Kau tidak menyukaiku? Apa aku perlu mencarikan namja lain? Seperti apa? Seperti apa yang kau butuhkan? Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tetap hidup”

 

Aku bisa merasakan mataku berair karena dorongan rasa takut menggerogoti hati dan perasaanku. Aku tidak siap kehilangan gadis ini, ia adalah warna baru dalam hidupku dan ia sudah membawa jauh rasa sepi yang selama ini selalu menemaniku. Tidak mudah untuk melihatnya bersama orang lain, namun membiarkan ia menderita jauh lebih menyakitkan, aku bisa menahan rasa perihku asalkan aku masih bisa melihatnya dengan mataku. Dia adalah potongan imajinasi dari kebahagiaan yang selalu aku impikan, kepingan dari impianku akan sosok pendamping yang selalu aku dambakan. Meskipun aku akan gila karena melihatnya dengan orang lain, setidaknya aku masih bisa melihatnya, menjadi gila lebih baik dari pada hidup dengan separuh jiwaku hilang bersamanya.

 

Ia menggenggam tanganku dengan lembut, menatap mataku dengan sepasang mata indahnya yang selalu berkilau.

 

“Jimin… aku tidak membutuhkan orang lain. Aku menyukaimu, bahkan lebih menyukaimu dari pada malaikat manapun meskipun kau seorang manusia”

 

Untuk pertama kalinya kalimat semacam ini keluar dari bibirnya dan sukses membuatku terharu. Aku tidak pernah tahu seperti apa aku dimatanya. Selama ini hanya aku, hanya aku yang sibuk mengumbar betapa aku sangat menyukainya, betapa aku sangat menyayanginya dan betapa aku mencintainya terlepas dari segala perbedaan antara aku dengan dia. Ia bukanlah tipikal gadis yang banyak bicara, ia pendiam namun sangat manis dan menyenangkan. Ia tidak pernah menyadari bahwa setiap hal kecil yang ia lakukan terlihat imut dan indah di mataku, dan setiap perhatian dan kepolosannya membuatku selalu merasa tenang berada di dekatnya.

 

“Aku sudah katakan berkali-kali, bahkan untuk seorang malaikatpun itu cukup menyakitkan, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu”

 

Tes…

 

Sebulir air jatuh mengalir pada pipinya.

 

“Kau tahu hal apa yang lebih menyakitkan?”

 

Jemariku menghapus lembut air matanya dan ia menatapku gusar.

 

“Kehilanganmu…”

 

*******

 

Sudah hampir dua hari kami tidak saling bicara, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya tapi ia terlihat berfikir sangat keras untuk sesuatu hal. Aku tidak berani bertanya, terlalu takut dengan pemikirannya. Tidak ada yang lebih mengerikan dari pada pemikiran seorang perempuan, jadi diam adalah sebuah pilihan yang tepat. Setiap hari ia bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan sarapan untukku kemudian menghabiskan waktunya di depan televisi dan bahkan mengabaikanku setiap aku keluar dan masuk dari apartemen, tapi aku tahu matanya selalu mengawasi setiap pergerakanku. Aku membiarkannya, mungkin dia hanya butuh sedikit ruang untuk berfikir meskipun sebeneranya aku sering merasa khawatir terhadap keputusan semacam apa yang akan ia buat. Aku senang meskipun aku hanya menatap punggungnya saat ia berbaring di sebelahku, aku bahagia meskipun ia hanya membuatkan sereal dan susu untuk sarapanku, aku tidak pernah berharap untuk banyak hal, aku hanya ini melihatnya setiap hari, itu saja.

 

Aku berbaring di sebelahnya selagi ia sibuk memainkan kancing piamaku yang terpasang kokoh. Aku memeluk tubuhnya erat dengan salah satu lenganku, mengusap punggungnya pelan dengan ujung-ujung jemariku. Sesekali aku bisa merasakan tubuhnya tegang sebagai reaksi dari apa yang aku lakukan, tapi tidak berniat mengatakan ataupun melakukan apapun. Kami masih belum bicara sampai ia akhirnya berhenti memunggungiku dalam baringannya dan memelukku seperti saat ini.

 

“Jimin…”

 

“Hmm…”

 

“Jika kita melakukannya, kau tidak akan bisa menyentuh wanita lain”

 

“Aku tidak menginginkan wanita lain”

 

“Jimin…”

 

“Jika kita melakukannya… aku mungkin akan ketergantungan padamu”

 

“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu”

 

“Jimin… aku adalah makhluk abadi”

 

“Kita akan bertemu di surga atau neraka. Kau hanya perlu mencari arwahku saat aku telah mati nanti dan kita bisa sama-sama hidup abadi”

 

“Di langit tidak seindah yang kau bayangkan”

 

“Aku akan baik-baik saja selagi kau bersamaku”

 

Ia terdiam dan aku bisa mersakan ia menenggelamkan wajahnya di dadaku, memelukku sangat erat.

 

“Aku tidak mau menyakitimu…”

 

“Aku sudah katakan berkali-kali, aku lebih sakit saat melihatmu lemah tidak berdaya dan aku tidak bisa melakukan apapun. Aku akan melakukan apapun untukmu, lagipula aku tidak akan mati hanya karena berhubungan seks”

 

“Ini tidak seperti yang kau bayangkan Jimin…”

 

“Aku tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencoba…”

 

Ia melepaskan tubuhnya dariku, menarik nafas sangat dalam kemudian menghembuskannya dengan kuat seolah ia telah yakin terhadap sesuatu.

 

“Berjanjilah satu hal”

 

Aku menatap mata bersinarnya.

 

“Kau harus menghentikanku jika kau tidak bisa menahannya”

 

Aku mengangguk dan ia mengecup bibirku pelan.

 

“Baiklah…”

 

Ia bangun dari posisinya dan berjalan menuju lemariku, mengambil sesuatu dan berjalan ke kamar mandi. Aku duduk bersandar pada dashboard ranjang selagi menunggu ia keluar.

 

Damn it!

 

Ia mengenakan gaun tidur tipis berwarna hitam legam yang waktu itu aku belikan, memamerkan paha indahnya. Gaun itu tersangkut di tubuhnya oleh tali setipis spageti di kedua bahunya dan rambut panjang jatuh terurai di bawah bahunya. Aku menghembuskan nafasku berat saat ia berjalan mendekat padaku. Shit! Aku bahkan sudah keras hanya dengan menatapnya.

 

Angle pov

 

Ia menatapku dengan sepasang matanya yang membara, aku tahu aku sudah berhasil membuatnya tergoda, tidak sulit membuat Jimin seperti ini. Jantungku berdetak sangat cepat, semakin cepat seiring langkahku menuju ranjang tempat ia berada. Aku sudah mengumpulkan begitu banyak keyakinan dan aku hanya bisa berdoa dia akan baik-baik saja. Aku harus melakukan ini jika aku ingin tetap bersama Jimin, karena aku tahu aku mungkin tidak akan bisa bertahan jika aku menunggu bulan untuk terbit. Aku ingin bersama manusia ini, yang sudah berhasil meruntuhkan segala peraturan dan kekokohan diriku yang membatasi antara aku dengan dia. Aku tidak keberatan jika nanti aku harus dihukum untuk menjadi manusia karena apa yang aku lakukan ini. Kehilangan sayap dan keabadian tidak sebanding dengan kehilangan dia. Sayap ini tidak akan mampu membuatku kabur dari langit yang penuh dengan gemuruh karena perang yang menyakitkan, dan keabadian tidak akan memberikan kebahagiaan yang kekal.

 

“Jimin…”

 

Jemariku meremas kuat rambut emasnya saat bibirnya bergerak dengan baik di leherku. Aku tidak tahu jika bersentuhan bisa senikmat ini. Sesekali ia menggigit leherku, ia tidak akan meninggalkan ruam karena kulitku akan segera kembali membaik dengan sendirinya karena aku masih memiliki sisa-sisa kekuatanku. Tubuhku memanas saat ia menindihku, merasakan bibirnya di bibirku, dadaku menyentuh dadanya dan bagian bawah tubuh kami bersentuhan. Tanganku memeluk erat lehernya selagi bibir kami bertaut erat saling menyerang. Tidak ada yang lebih manis dari ciuman yang Jimin berikan untukku, ada banyak sekali hal indah dan menakjubkan di atas langit tapi tak ada yang bisa membuatku lumer seperti saat Jimin menciumku. Bibirnya sangat lembut dan begitu lihai, aku tidak tahu di mana ia belajar hal semacam ini karena menurutku ia sangat ahli.

 

“Hah…”

 

Aku tak bisa menahan lebih lama lagi jika ia terus menggesekkan tubuhnya pada tubuhku seperti ini. Meskipun miliknya masih terlindung oleh piayama dan panty di sana dan aku masih utuh dengan gaun tidurku, aku bisa merasakan ia semakin keras dan besar pada setiap gesekannya ditubuhku dan aku bisa merasakan perutku bergemuruh oleh ribuan kupu-kupu di sana.

 

Aku duduk di atas pangkuannya dan kami saling menatap dalam diam. Tanganku bergerak menuju kancing teratas piyamanya, melepaskan benda itu satu persatu dan Jimin di hadapanku, mengawasiku begitu hati-hati. Kedua tangannya di pahaku yang tak tertutupi oleh gaun tidur yang aku kenakan dan sesekali jemarinya menggesek pahaku menghantarkan sengatan kenikmatan ke seluruh tubuhku. Semakin jauh aku turun pada kancing piyamanya, semakin tinggi jemarinnya mendaki pada pahaku, dan saat aku sampai pada ujung kancing terakhir, tangannya sudah sampai pada tepi pantyku.

 

Aku melepaskan tubuh Jimin dari piyama yang ia kenakan dan ia berhasil mengeluarkan aku dari gaun tidur yang aku pakai.

 

“Kau sangat sempurna…”

 

Pujiannya terdengar manis di telingaku seiring dengan bibirnya yang menyentuh daun telingaku di setiap kata yang keluar dari bibirnya.

 

Aku mengambil dasi yang tadi aku bawa bersamaku dan bersiap menutup matanya. Dahinya berkerut, aku tahu ia tidak suka dengan ide ini karena beberpa saat yang lalu ia masih sangat menikmati menatap tubuhku meskipun aku masih berbalut bra dan panty.

 

“Kenapa kau harus menutup mataku?”

 

“Percayalah, kau lebih suka melihatku di imajinasimu, aku bisa menjadi sangat mengerikan dan aku tidak mau kau melihatku seperti itu”

 

“Apa kau akan berubah menjadi nenek tua seperti di dongeng-dongen?”

 

Aku terkekeh pelan mendengarkan pertanyaan lucunya.

 

“Tidak Jimin, aku tidak akan mengeriput, kau tidak perlu khawatir. Percayalah, setelah ini kau bisa melihatku sebanyak yang kau mau, tapi tidak untuk malam ini”

 

Aku berhasil meyakinkannya karena sekarang ia mengangguk. Aku memasangkan dasi itu pada matanya, mengikat kebelakang selagi tangannya di pingganggku, memastikan aku tidak akan kabur.

 

“Jimin… jika kau merasa tidak bisa menahan rasa sakitnya, kau hanya perlu memintaku untuk berhenti”

 

Ia mengangguk dan aku mulai melepaskan sisa pakaian di tubuhku, mengepakkan kedua sayapku. Kemudian tanganku bekerja dengan baik melepaskan celana piyama dan panty pada tubuh Jimin. Oke… ini pertama kalinya aku melihat tubuh namja dan aku akui tuhan menciptakan mereka sangat sempurna, atau hanya Jimin yang memiliki tubuh seperti ini.

 

“Hei… kau masih di sana?”

 

Aku terbangun dari keterpanaanku menatap tubuh Jimin saat ia menyapaku.

 

“Hm…”

 

Gumamanku berhasil menenangkannya sebelum akhirnya aku kembali naik ke atas tubuhnya.

 

“Hah….”

 

Skin to skin

 

Lips to lips

 

Fingers trhough hairs

 

Tanganku bergerak pada seluruh bagian tubuhnya dan bibirku menaut bibirnya erat. Aku hanya perlu memastikan ia benar-benar siap. Tangannya menyentuh pinggangku selagi aku sibuk menggesekkan tubuhku di tubuhnya agar ia tidak terlalu sakit.

 

“AKH…..”

 

Aku merasa sakit tapi aku tahu Jimin lebih sakit saat aku merasakan aura yang kuat mengalir pada tubuhku. Sayapku bergerak sangat baik dan aku merasa sesuatu yang tak pernah aku alami sebelumnya. Aku tidak pernah sepenuh ini.

 

Tanganku berpegang erat pada bahu Jimin dan mataku terpusat pada wajahnya yang mengerinyit. Oke… dia mulai kesakitan,

 

“Jimin… kau baik-baik saja?”

 

“Tubuhku… tubuhku seolah tertarik sangat kuat. Aku… sesuatu yang panas mengalir di darahku”

 

Aku mulai ketakutan karena sebulir air mata mengalir di bawah penutup mata yang aku pasang padanya. Aku mulai ketakutan dan aku bersiap melepaskan tubuhku darinya.

 

“Aku baik-baik saja”

 

Ia menahan tubuhku dan aku bisa melihat dadanya naik dan turun, ia pasti menahan sakit, aku bisa melihat bagian dalam tubuhnya dengan mataku, jantungnya bergerak terlalu cepat.

 

“Hngg….”

 

Bukan hanya Jimin, aku juga merasa sangat sakit karena biar bagaimanapun ia bukan seorang malaikat dan ini adalah pengalaman pertamaku. Aku menggigit bibirku menahan sakit saat darah segar mengalir dari tubuhku di sana saat aku terus bergerak pada tubuhnya.

 

“Hah…”

 

Meskipun ini menyakitkan, sesuatu yang manis masih dapat aku rasakan saat tubuhku dan tubuh Jimin bergerak berimana. Sesuatu yang manis yang menjadi satu-satunya penawar dari rasa sakit yang kami rasakan. Aku masih mengkhawatirkan Jimin karena wajahnya semakin pucat dan keringat mengalir deras di tubuhnya.

 

“Shit!!!! Aaaaaaaaa……”

 

Aku menelan tangisku saat aku tahu aku sudah menyerap hampir setengah dari jiwa, aura dan tenaganya. Suara teriakannya menandakan ia benar-benar kesakitan.

 

“Jimin… kita bisa berhenti sekarang”

 

Suaraku serak karena menahan tangis.

 

“Berhenti? Kau bilang berhenti? Kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu memastikan aku tetap bisa bernafas saat aku bangun besok pagi”

 

Aku tahu hal ini tidak akan membunuhnya, tapi rasa sakit bisa membuatnya benar-benar menderita.

 

“Haaaaaaaahhhh….”

 

Sesuatu yang hangat mengalir di tubuhku dan aku merasa utuh. Aku menatap pantulan bayanganku pada cermin di sebelahku. Aku bersyukur Jimin tidak melihatku dengan sayap merah darah, mata yang bersinar dan air mataku yang berdarah. Tubuhku mencekung menjadi sangat kurus karena semua bagian dari aura malaikat yang aku miliki, menguap. Aku bisa melihat tulang rusukku sangat jelas begitu juga dengan tulang pipi dan bahuku. Aku terlihat seperti seorang tengkorak yang hanya berlapis kulit.

 

Aku tak lagi seorang malaikat seutuhnya…

 

*******

 

Aku menatap gelisah tubuh tidur Jimin bergantian dengan jam yang ada di dinding kamarnya. Ia pernah mengajarkanku jika jarum pendek pada benda itu mengarah pada angka paling atas, berarti matahari berada di posisi terpanasnya yang artinya siang sudah menjelang sore. Ia masih tertidur dengan lelap, sesekali aku memastikan ia masih bernafas dan beberapa kali mengecek detak jantungnya. Aku sangat gelisah sejak pagi menjelang dan kekhawatiranku semakin memuncak karena Jimin masih belum bangun dari tidurnya, aku takut ia tidak akan terjaga lagi, aku benar-benar khawatir. Beberapa kali aku berjalan mondar mandir berusaha meyakinkan diriku jika dia baik-baik saja, tapi tak ada yang mampu menolongku.

 

Aku duduk di sebelah tubuh polosnya yang berbaring di balik selimut saat ia bergerak pelan dan matanya bergerak.

 

“Jimin…”

 

Ia diam, masih mengerjapkan matanya berkali-kali.

 

“Jimin…”

 

Suaraku mulai serak dan aku bersiap untuk menangis.

 

“Jim-….”

 

“Ssssttttt….”

 

“Jangan menangis”

 

Kebalikan dari apa yang ia inginkan, aku malah menangis sangat keras. Rasa takut, menyesal dan khawatir membuatku kalap. Aku terus menangis di hadapannya merasa sakit terhadap apa yang sudah aku lakukan padanya.

 

“Hei… aku baik-baik saja”

 

Ia menarikku ke dalam pelukannya, meredam tangisku yang masih menggema di kamar ini.

 

*******

 

Angle pov

 

Aku sibuk memotong wortel dan sayuran lainnya mengikuti instruksi dari televise di depanku, aku akan membuatkan Jimin sup. Aku tidak pernah memasak sebelumnya, karena kami tidak memerlukan makanan. Meskipun aku sangat sering berkunjung ke bumi, aku tak pernah benar-benar melakukan apa yang manusia lakukan, biasanya aku hanya mengamati. Aku masih sibuk dengan kentang saat sepasang lengan memeluk perutku.

 

“Pagi…”

 

Suaranya lembut dan aroma sabun menyeruak di rongga hidungku. Ia mengintip apa yang sedang aku lakukan dari salah satu bahuku tapi kemudian kembali memelukku erat.

 

“Jimin… aku tidak bisa memotong kentangnya jika kau memelukku terlalu erat”

 

Ia terkekeh pelan dengan suaranya yang lembut dan manis, kemudian dengan perlahan melepaskan tubuhku dan bersandar pada counter dapur, sibuk mengamatiku.

 

“Kau sangat cantik saat sedang serius seperti itu”

 

Aku menatapnya sejenak saat kalimat itu keluar dari bibirnya. Kalimat gombal yang terdengar menjijikan bagi sebagian orang tapi sangat manis bagiku, membuat isi perutku bergerak tidak karuan.

 

“Jadi selama ini aku tidak cantik?”

 

Kemudian ia berdiri lebih dekat dan menatapku lebih intens.

 

“Kau cantik sepanjang waktu”

 

Semburat merah membuat kedua pipiku memanas dan aku memilih untuk diam tidak menanggapi penuturannya. Ia berdiri semakin dekat dan semakin dekat hingga wajahnya menyentuh wajahku dan ia mengecup bibirku pelan.

 

“Kalau begitu aku menunggu masakanmu, semoga berhasil”

 

******

 

Aku bersandar pada tubuh Jimin yang juga bersandar pada dashboard ranjang, aku duduk di antara kedua kakinya dan lengannya memeluk perutku dengan erat. Aku dan Jimin sibuk menikmati acara pada televisi di hadapan kami. Sesekali aku tertawa karena ulah si pelakon di salah satu serial drama yang tengah aku saksikan dan saat aku terkekeh pelan Jimin akan mengecup pipiku dan mengatakan jika aku sangat manis saat aku tertawa.

 

Fokusku pada tayangan drama yang tengah aku saksikan tergoyah saat aku merasakan deru nafas Jimin di tengkukku. Aku merinding saat bibir lembutnya menyentuh leherku yang terbuka. Aku masih berusaha untuk fokus pada dramaku tapi semuanya buyar saat lidahnya mendarat di leherku diikuti oleh gigitan lembut dan ciuman panasnya. Tangannya meraih tanganku yang memegang remot TV dan memencet benda itu sehingga TV dihadapanku berhenti bergerak.

 

“Hei…. Aku sedang nonton TV”

 

“Kau yakin masih bisa menonton TV?”

 

Aku menggigit bibirku saat pertanyaan itu melesat dari mulutnya dan ia menatapku dengan kedua matanya yang sayu, kedua bibirnya sedikit terbuka dan ia berhasil membuatku tak berdaya. Aku menyerah saat bibirnya berhasil mencapai bibirku melumat dengan hebat seperti biasanya dan ia berhasil memposisikan diriku di bawah tubuh dan kuasanya.

 

Ia tidak menindihku seutuhnya, tapi tubuhnya berada cukup rapat di atas tubuhku dan dadaku menyentuh dadanya.

 

“Aku bersyukur akhirnya kau memutuskan untuk bersamaku”

 

“Aku tidak mengatakan aku akan bersamamu”

 

“Tapi semuanya sudah cukup untuk mengatakan bahwa kau tidak akan bisa meninggalkanku”

 

Hidungnya menyentuh hidungku dengan lembut dan ia mengecup bibirku pelan.

 

“Aku sangat berterima kasih pada takdir yang membuatmu jatuh di hadapanku, kau begitu sempurna”

 

“Jimin… berhentilah menggodaku…”

 

“Aku tidak bisa, kau terlalu menawan”

 

Aku yakin wajahku merona sangat keras saat ini.

 

“Aku sangat suka melihat wajahmu yang seperti ini…”

 

Kemudian ia tersenyum lembut dan mengecup kedua pipiku.

 

“Aku tak percaya aku benar-benar bersama seorang malaikat. Apa semua malaikat semenarik dirimu?”

 

“Kenapa? Kau ingin bertemu dengan mereka?”

 

Ia terkekeh mendengarkan nada kesal pada pertanyaanku.

 

“Kau bahkan cemburu saat aku bertanya tentang hal sepele seperti ini. Manis sekali…”

 

“Aku tidak cemburu…”

 

Ia diam sejenak kemudian menyampirkan rambut yang menutupi dahi ke telingaku.

 

“Meskipun aku menemui dewi tercantik sekalipun, bagiku kau tetap yang paling sempurna”

 

Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan semua godaan yang ia lontarkan padaku jadi aku memilih menciumnya lebih dulu, merasakan bibirnya membalas setiap lumatan di bibirku. Bibirnya menyentuh setiap sisi bibirku memastikan aku meraskannya dengan sempurna.

 

Aku terengah-engah saat ia melepaskan tautan bibir kami. Ia menatap mataku dengan sayu dan bibirnya yang setengah terbuka menarik udara sebanyak-banyaknya. Aku tidak tahu apa yang ia fikirkan karena sekarang ia tengah menggigit bibirnya dan menatapku tajam.

 

“Aku ingin melihatmu…”

 

Dengan bersusah payah aku menelan air liurku. Meskipun kami sudah melakukannya tapi ia tidak benar-benar melihatku karena kemarin aku menutup matanya. Ia bangun dari posisi menindihku dan duduk di hadapanku. Aku benar-benar gugup saat tangannya memegang ujung kaos yang aku kenakan, menarik dengan sangat pelan dari kepalaku. Ia menghembuskan nafasnya berat saat ia menatap tubuhku, aku tidak mengenakan apapun di balik hoodieku karena aku hanya memiliki beberapa pasang bra dan panty yang hari ini aku cuci semuanya. Aku mengepalkan tanganku merasa malu karena ia masih menatap tubuhku.

 

Matanya kembali pada mataku saat ia mengecup salah satu punggung tanganku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh telapak tanganku kemudian menjilat ibu jariku. Shit… aku bahkan hampir mengeluarkan suara aneh saat ia menghisap salah satu jariku.

 

“Aku menyukai setiap hal pada dirimu”

 

Suaranya rendah di rahangku sebelum ia mengecup pelan dan turun menuju leherku. Aku hampir saja kehilangan nafasku sejalan dengan ia yang terus turun menuju dadaku.

 

“Hng…”

 

Ia menghisapku di sana dan salah satu tangannya meremas dadaku yang lainnya. Lidahnya berputar pada seluruh bagian payudaraku dan aku terhempas pada bantal tak sanggup menahan sensasi luar biasa yang ia hasilkan. Bibirnya turuk ke perutku dan terus menuju pinggangku, meninggalkan bekas di setiap bagian yang ia lewati. Aku meremas kuat seprai merasa sangat gugup saat bibirnya mengecup sisi bagian dalam pahaku, tidak benar-benar menyentuhku di sana dan hal ini membuatku frustasi.

 

Rilex beib… kita tidak buru-buru…”

 

Ia membuka lebar pahaku, mengekspos tubuhku di depan wajahnya dan aku hanya bisa berbaring tidak tahu harus bagaimana, menatap langit-langit apartemen dengan gugup.

 

“Mhhh….”

 

Ia menghembuskan nafas beratnya di sana dan berhasil membuatku merinding.

 

“Shit! Kau sudah sebasah ini, aku bahkan belum benar-benar menyentuhmu…”

 

1…2…3…

 

Sebuah jilatan besar membuat aku berteriak keras saat aku merasakan lidah lembutnya di sana.

 

“Ahhh… Jimin…”

 

Aku meremas kuat rambutnya saat lidahnya menggoda seluruh organ seksku. Shit!!!!

 

“Hnggg…. Faster…”

 

Ia menggerakkan lidahnya lebih cepat di dalam tubuhku. Fuck it! aku lebih baik menjadi manusia asalkan aku bisa selalu merasakan semua kenikmatan ini.

 

“Hhahh…..”

 

Gelombang kenikmatan menghempaskanku dan aku terbaring terengah-engah sementara Jimin sibuk membersihkan wajahnya yang terkena cairan milikku. Ia tersenyum nakal sebelum melepaskan semua pakaiannya dengan terburu-buru.

 

“This time… I’m the leader of the show…”

 

Aku terkejut saat ia mengangkat tubuhku dan memaksaku menghadap pada cermin di salah satu lemari di kamar ini.  Fuck! Apa ini? Aku bahkan sudah mengeluarkan terlalu banyak carut marut dunia hanya dalam hitungan menit. Di langit aku pasti sudah di hukum. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan karena sekarang aku menatap pantulan bayangan diriku tanpa sehelai benangpun dengan Jimin berada di belakangku.

 

Aku tak bisa menahan rasa malu yang membuatku tak berani menatap cermin besar itu. Bibir Jimin menyentuh bagian bawah telingaku dan aku terkesiap saat tangannya bergerak di dadaku.

 

“Aku ingin melihat wajahmu dan aku ingin kau melihatku saat aku menyentuhmu”

 

Apa dia sudah gila? Aku bahkan tidak berani mengangkat kepalaku sekarang. Ini sangat memalukan…

 

“Jimin… ini sangat memalukan”

 

Ia menarik daguku dengan salah satu tangannya dan memaksaku mengangkat wajahku, menyaksikan ia menatapku di sana dengan wajah hornynya.

 

“Ini menyenangkan…”

 

Tangannya berhasil menarik perhatianku, aku ingin mengalihkan pandanganku tapi aku bahkan tak bisa menggerakkan bola mataku dari tangannya yang bergerak pelan turun menuju perutku. Aku menggigit bibirku keras saat jarinya menyentuhku di sana dan aku menatapnya dengan mata kepalaku sendiri mengirimkan sensasi tidak biasa ke seluruh otak dan perasaanku. Aku tidak pernah mengetahui sisi Jimin yang seperti ini, aku tahu dia sangat pervert tapi aku tak menyangka dia akan melakukan hal semacam ini.

 

“Hah….”

 

Matanya menatapku tajam saat dua buah jarinya bergerak keluar dan masuk dengan sangat pelan.

 

“Ji..Jiminhhhh…”

 

“You’re so hot baby…”

 

Aku memegang erat pahanya yang berada di kedua sisi tubuhku, merasa tak sanggup menahan semua kenikmatan ini.

 

“ahh…”

 

Saat aku benar- benar sudah dekat, ia berhenti dan aku memperhatikan setiap gerak geriknya di belakangku. Ia mengangkat tubuhku perlahan dan menurunkan ditubuhnya menghasilkan lenguhan hebat dari kami berdua. Ia memposisikan diriku agar ia benar-benar masuk sangat dalam menyentuh bagian terdalam tubuhku.

 

“Fuckk…”

 

Dan tubuhku bergerak hebat menghempas pada tubuhnya bertumpu pada kedua pahanya. Pergerakanku semakin cepat saat ia memegang pinggangku memaksaku berpacu sesuai dengan harapannya.

 

“Nggghhh….”

 

“Ah…ah…agh…”

 

“Jimin….”

 

Rasanya seperti ribuan bintang berputar di kepalaku dan mataku berkunang-kunang. Apa ada hal semacam ini? Kenapa kemarin rasanya tidak seperti ini? Aku menatap wajah Jimin pada pantulan cermin berharap aku tidak membahayakannya karena aku bisa merasakan aliran auranya ke tubuhku, ia sedikit pucat dan keringat mengalir deras di wajahnya tapi tak memperlihatkan tanda-tanda ia merasa sakit atau tersiksa. Justru kebalikannya, matanya menatap sayu pada bagian tubuh kami yang saling menyatu, sesekali ia menggigit bibirnya meredam lenguhan di tenggorokannya, tak jarang ia tak mampu menahan erangannya dan mengeluarkan suara erotis di telingaku, dan saat suara itu melesat keluar dari bibirnya, aku terpesona dengan ekspresi seksinya dengan bibir setengah terbuka.

 

Hah… hha….ha…”

 

“Nggggghhhaaaaaaahhhh”

 

*****

 

Aku duduk diam di dalam kamar mandi masih terpana dengan apa yang sedang terjadi. Aku masih ingat tadi aku tiba-tiba pingsan setelah mandi dan saat aku sadar semuanya sudah terjadi. Aku menatap cermin kamar mandi dan memperhatikan mataku yang kini sudah berwarna hitam, aku masih memiliki sisa-sisa kemerahan di tubuhku hasil karya Jimin yang seharusnya bisa langsung hilang dalam hitungan menit atau setidaknya jam. Tapi hal yang paling membuatku terkejut adalah dua benda besar yang kini tengah tergeletak di lantai kamar mandi tempat aku pingsan tadi, aku bahkan melukai kepalaku karena kehilangan kesadaran dan membentur dinding bathup. Aku duduk di sana, bersandar pada salah satu dinding kamar mandi dan menatap dua benda yang dulu selalu melekat dipunggungku, yang kini sudah berwarna abu-abu. Aku tidak tahu perasaan semacam apa ini tapi aku merasa sangat ketakutan, sedih dan pilu.

 

Suara ketukan kamar mandi tak cukup menarikku dari lamunanku sehingga sekarang Jimin sudah masuk dan menatapku terkejut.

 

“Sayapmu…”

 

Ia berdiri diam dan aku tak berani mengalihkan pandanganku dari sepasang keindahan yang selalu menemaniku.

 

Ia tahu benar aku sangat menyayangi sayapku, aku bahkan terus mengelusnya meskipun aku sudah tidak bisa menggunakannya untuk terbang. Ia berlari duduk di sebelahku, menarikku kedalam pelukannya sedangkan aku masih mengumpulkan semua fakta tentang diriku.

 

“Jimin, aku tidak akan bisa kembali lagi ke langit…aku bukan seorang malaikat lagi”

 

Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku, aku sedih pada  kenyataan yang terjadi sekarang. Biar bagaimanapun aku tidak pernah membenci fakta bahwa aku seorang malaikat dan aku bahkan sangat membanggakan hal itu. Tapi aku tidak mau meninggalkan Jimin dan kembali pada kehidupan langit, aku terlalu mencintainya. Apa tuhan menghukumku? Apa aku seorang manusia sekarang? Itu artinya…

 

“Aku tak lagi abadi…”

 

-end-

 

Author g masalah kok kalau misalkan di komentarin apapun, yang penting masih di apresiasi, Meskipun Cuma sedikit atau beberapa. Buat author, satu komentar aja udah berarti banget. Makasi banyak buat yang udah bela-belain chat personal, nyari-nyari author di wattpad sama line, sumpah author kaget ternyata ada juga yang suka sama tulisan I, mana banyak lagi hahahaha. Sekali lagi makasi ya meskipun permintaannya g terpenuhi, abisnya author sibuk banget dan bkin ff pasti di sela-sela waktu istirahat kalau g tengah malam T.T. makanya kadang bagus kadan alay hahahaha.

 

yap lebarnya, ia sangat berhati-hati agar kedua sayap indah itu tidak mengenai dan menyakitiku. Ia duduk menyamping dan berhadapan denganku masih bersama senyum yang mengukir indah di wajah porselennya.

“Kau tidak pernah secantik ini”

Pujianku berhasil membuat wajah indahnya merona semakin manis memaksa bibirku menarik seulas senyum.

“Aku tidak pernah merasa sehidup ini, rasanya sangat mengerikan saat aku hanya tergeletak tidak berdaya di atas ranjang tanpa ada yang bisa kita lakukan”

Yah… aku kembali flashback menuju kemarin saat ia terbaring lemah dan aku tidak bisa melakukan apapun, tidak akan ada obat yang bisa menyembuhkan dan memberikannya energi untuk bertahan hidup. Aku sangat bersyukur bulan bisa bersinar sangat baik malam ini dan ia bisa mengembalikan kekokohan dirinya.

“Apa kau sudah selesai? Bulannya tidak akan bersinar lebih lama lagi”

Ia mengangguk,

“Aku akan bertahan untuk beberapa hari ke depan”

Aku menyentuh wajah itu menikmati betapa menawannya dia, tidak pucat seperti biasanya.

“Kau membuat dadaku sesak”

Ia terkejut mendengarkan penuturanku, terlihat jelas dari perubahan ekspresinya yang mendadak.
Aku menghembuskan nafasku pelan sebelum tersenyum padanya.

“Bagaimana bisa kau membuatku seperti ini?”

Aku menarik salah satu tangannya, meletakkan di dadaku yang begemuruh karenanya. Aku sudah bertemu dengan banyak sekali wanita tapi tak ada yang bisa membuatku seperti ini.

“Berhentilah menggodaku Jimin…”

Aku terkekeh pelan dan ia tersenyum malu di depanku.

Tanganku masih di wajahnya dan kami terjebak dalam diam, aku tidak bisa menahan diriku dari menatap wajah sempurna itu. Ibu jariku menyentuh bibir lembutnya mengirimkan getaran luar biasa di tubuhku, aku bahkan hanya menyentuhnya dengan salah satu jariku saja dan dia telah bisa membuat diriku menjadi seperti ini. Aku menggigit bibirku sendiri saat rasa gugup tiba-tiba menyergap,sebelumnya aku tak pernah segugup ini di depan perempuan.

“Apa aku boleh menciummu?”

Mataku beralih dari bibirnya menuju mata hijaunya.

“Apa kau masih harus bertanya dulu?”

Dan aku benar-benar tak bisa menahan diriku lagi. Bibirku menyentuh bibir lembutnya seolah aku baru saja mendarat di surga. So amazing, sangat lembut dan manis. Bibirku bergerak pelan pada bibir manisnya dan menghisap bibir bawahnya melumat sangat pelan, apa ciuman bisa semanis ini? Aku baru tahu. Aku sudah pernah berciuman beberapa kali, bahkan puluhan perempuan tapi tidak pernah semanis ini. Hasrat mendorongku lebih kuat, tanganku yang lainnya bergerak lebih lihai di pinggangnya menariknya ke atas pangkuanku sementara tangan satunya memastikan ia tidak melepaskan ciuman kami yang semakin panas. Tangannya memegang bahuku erat saat lidahku melesat menjelajahi seluruh isi rongga mulutnya.

“Nghh….”

Ia melenguh pelan saat tanganku menyentuh bagian punggung di bawah sayapnya yang terekspos karena kaos tidur yang ia kenakan sobek oleh sayapnya. Adrenalinku memacu kencang merusak system kerja otakku saat tanganku bersiap menarik kaosnya lepas.

“Jimin”

Tangannya menahan tanganku dan sapaannya melepaskan tautan bibir kami.

“It’s ok. Aku akan baik-baik saja”

Aku mencoba meyakinkannya tapi sepertinya aku tidak akan berhasil seperti sebelum-sebelumnya.

“Aku belum siap…”

Kau mungkin berfikir aneh saat seharusnya dialah yang berucap demikian, bukan aku, seharusnya dialah yang akan merasa sakit, bukan aku. Namun begitulah kenyataannya. Aku ingin sekali menyentuhnnya lebih banyak lagi dan aku yakin ia juga demikian tapi kami tidak pernah lebih dari sekedar hot make out session karena ia selalu menolakku. Alasannya membuatku selalu bertanya seberapa sakit aku dibuatnya dan seberapa sulit hal itu.

Biar aku ceritakan…

Dia adalah seorang makhluk langit yang jatuh ke bumi karena peperangan beberapa kelompok malaikat dan demon, terdengar mustahil tapi demikian yang ia ceritakan padaku. Ia tidak bisa kembali ke langit untuk saat ini karena kondisi di sana masih sangat kacau dan bumi adalah tempat teraman. Tapi tinggal di bumi bukanlah hal yang mudah untuknya, ia tidak bisa mendapatkan energy dari makanan seperti halnya manusia. Hanya ada dua hal yang bisa memberikannya kehidupan, cahaya bulan dan menghisap energi manusia. Menghisap energy manusia di sini bukanlah seperti vampire yang kau bayangkan, lebih rumit dari hal itu. Ia hanya bisa menghisap energi dari manusia laki-laki dan hanya bisa mendapatkannya dari berhubungan sex. Ya… seharusnya kami sudah melakukannya sejak lama dan tidak membiarkan ia terbaring lemah menantikan cahaya bulan sementara aku hanya bisa menangis meratapinya. Tapi tidak semudah itu, permasalahannya adalah ia belum pernah melakukan hubungan seks dan sejenisnya karena di langit ia tidak perlu melakukan hal itu sebab bulan bisa terlihat sangat mudah, selain itu konflik yang terjadi membuat ia lebih sibuk untuk menyelamatkan diri daripada memikirkan hal semacam bercinta. Dan karena aku seorang manusia, ia bilang bisa sangat menyakitkan untukku saat pertama kami memulainya karena ia akan menghisap aura dan bagian dari jiwaku ke dalam tubuhnya. Aku pernah menawarkannya, lagi pula itu hanya terjadi saat pertama saja tapi ia terlalu takut untuk menyakitiku sehingga kami tak pernah melakukan lebih jauh dari sekedar berciuman.

******

Aku mengacak rambutku frustasi setelah membaca beberapa informasi dari laptopku. Badai dan cuaca buruk akan berlangsung hingga akhir bulan dan bisa dipastikan bulan tidak akan terlihat. Aku menatapnya yang tengah asik menyaksikan layar bergerak di hadapannya, ia bilang televisi adalah hal paling menakjubkan yang di buat manusia karena seluruh isi dunia bisa terlihat pada kotak elektronik itu. Menyadari kegelisahanku, ia mematikan TV dan berjalan ke arahku, duduk di sebelahku. Ia terlihat seperti gadis biasa tanpa sayap yang mengepak di punggungnya, ia bilang mengeluarkan sayapnya bisa memakan banyak energi. Ia menatap layar laptop tapi aku tahu ia tidak mengerti apapun karena ia tidak bisa membaca tulisan manusia.

“Apa bulan tidak akan terbit?”

“Badai dan cuaca buruk akan menimpa kota ini dan berkemungkinan hingga akhir bulan”

Ia terlihat berfikir kemudian mengangguk.

“Aku hanya perlu sedikit lebih sabar dari yang kemarin ini”

Aku meletakkan laptopku di atas meja dan kembali duduk di sofa di sebelahnya.

“Apa kau kira aku sanggup melihatmu menderita seperti saat itu? rasanya setiap nafas yang kau Tarik menarikku semakin dekat pada kematian. Aku lebih takut dari pada kau”

Kalimatku berhasil membuat ia terdiam dan menatapku dengan wajah polosnya.

“Kita bahkan tidak bisa meninggalkan Negara ini dan membawamu ke tempat lain, dimana bulan bisa terlihat lebih baik”

Tentu saja, ia tidak memiliki kartu identitas apalagi passport. Ia terdiam dan menunduk, memainkan jemarinya dengan gelisah, aku tahu dia juga tidak suka dengan kondisi saat ia lemah dan tak berdaya, berfikir mungkin kematian bisa saja datang secara mendadak.

Kemudian sesuatu terlintas di otakku dan aku yakin ia paham apa yang sedang aku fikirkan karena sekarang ia juga menatapku dengan matanya yang membulat.

“Tidak! Kita tidak akan melakukannya”

“Kenapa? Kau tidak menyukaiku? Apa aku perlu mencarikan namja lain? Seperti apa? Seperti apa yang kau butuhkan? Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tetap hidup”

Aku bisa merasakan mataku berair karena dorongan rasa takut menggerogoti hati dan perasaanku. Aku tidak siap kehilangan gadis ini, ia adalah warna baru dalam hidupku dan ia sudah membawa jauh rasa sepi yang selama ini selalu menemaniku. Tidak mudah untuk melihatnya bersama orang lain, namun membiarkan ia menderita jauh lebih menyakitkan, aku bisa menahan rasa perihku asalkan aku masih bisa melihatnya dengan mataku. Dia adalah potongan imajinasi dari kebahagiaan yang selalu aku impikan, kepingan dari impianku akan sosok pendamping yang selalu aku dambakan. Meskipun aku akan gila karena melihatnya dengan orang lain, setidaknya aku masih bisa melihatnya, menjadi gila lebih baik dari pada hidup dengan separuh jiwaku hilang bersamanya.

Ia menggenggam tanganku dengan lembut, menatap mataku dengan sepasang mata indahnya yang selalu berkilau.

“Jimin… aku tidak membutuhkan orang lain. Aku menyukaimu, bahkan lebih menyukaimu dari pada malaikat manapun meskipun kau seorang manusia”

Untuk pertama kalinya kalimat semacam ini keluar dari bibirnya dan sukses membuatku terharu. Aku tidak pernah tahu seperti apa aku dimatanya. Selama ini hanya aku, hanya aku yang sibuk mengumbar betapa aku sangat menyukainya, betapa aku sangat menyayanginya dan betapa aku mencintainya terlepas dari segala perbedaan antara aku dengan dia. Ia bukanlah tipikal gadis yang banyak bicara, ia pendiam namun sangat manis dan menyenangkan. Ia tidak pernah menyadari bahwa setiap hal kecil yang ia lakukan terlihat imut dan indah di mataku, dan setiap perhatian dan kepolosannya membuatku selalu merasa tenang berada di dekatnya.

“Aku sudah katakan berkali-kali, bahkan untuk seorang malaikatpun itu cukup menyakitkan, aku takut sesuatu yang buruk terjadi padamu”

Tes…

Sebulir air jatuh mengalir pada pipinya.

“Kau tahu hal apa yang lebih menyakitkan?”

Jemariku menghapus lembut air matanya dan ia menatapku gusar.

“Kehilanganmu…”

*******

Sudah hampir dua hari kami tidak saling bicara, aku tidak tahu apa yang terjadi padanya tapi ia terlihat berfikir sangat keras untuk sesuatu hal. Aku tidak berani bertanya, terlalu takut dengan pemikirannya. Tidak ada yang lebih mengerikan dari pada pemikiran seorang perempuan, jadi diam adalah sebuah pilihan yang tepat. Setiap hari ia bangun pagi-pagi sekali, menyiapkan sarapan untukku kemudian menghabiskan waktunya di depan televisi dan bahkan mengabaikanku setiap aku keluar dan masuk dari apartemen, tapi aku tahu matanya selalu mengawasi setiap pergerakanku. Aku membiarkannya, mungkin dia hanya butuh sedikit ruang untuk berfikir meskipun sebeneranya aku sering merasa khawatir terhadap keputusan semacam apa yang akan ia buat. Aku senang meskipun aku hanya menatap punggungnya saat ia berbaring di sebelahku, aku bahagia meskipun ia hanya membuatkan sereal dan susu untuk sarapanku, aku tidak pernah berharap untuk banyak hal, aku hanya ini melihatnya setiap hari, itu saja.

Aku berbaring di sebelahnya selagi ia sibuk memainkan kancing piamaku yang terpasang kokoh. Aku memeluk tubuhnya erat dengan salah satu lenganku, mengusap punggungnya pelan dengan ujung-ujung jemariku. Sesekali aku bisa merasakan tubuhnya tegang sebagai reaksi dari apa yang aku lakukan, tapi tidak berniat mengatakan ataupun melakukan apapun. Kami masih belum bicara sampai ia akhirnya berhenti memunggungiku dalam baringannya dan memelukku seperti saat ini.

“Jimin…”

“Hmm…”

“Jika kita melakukannya, kau tidak akan bisa menyentuh wanita lain”

“Aku tidak menginginkan wanita lain”

“Jimin…”

“Jika kita melakukannya… aku mungkin akan ketergantungan padamu”

“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu”

“Jimin… aku adalah makhluk abadi”

“Kita akan bertemu di surga atau neraka. Kau hanya perlu mencari arwahku saat aku telah mati nanti dan kita bisa sama-sama hidup abadi”

“Di langit tidak seindah yang kau bayangkan”

“Aku akan baik-baik saja selagi kau bersamaku”

Ia terdiam dan aku bisa mersakan ia menenggelamkan wajahnya di dadaku, memelukku sangat erat.

“Aku tidak mau menyakitimu…”

“Aku sudah katakan berkali-kali, aku lebih sakit saat melihatmu lemah tidak berdaya dan aku tidak bisa melakukan apapun. Aku akan melakukan apapun untukmu, lagipula aku tidak akan mati hanya karena berhubungan seks”

“Ini tidak seperti yang kau bayangkan Jimin…”

“Aku tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencoba…”

Ia melepaskan tubuhnya dariku, menarik nafas sangat dalam kemudian menghembuskannya dengan kuat seolah ia telah yakin terhadap sesuatu.

“Berjanjilah satu hal”

Aku menatap mata bersinarnya.

“Kau harus menghentikanku jika kau tidak bisa menahannya”

Aku mengangguk dan ia mengecup bibirku pelan.

“Baiklah…”

Ia bangun dari posisinya dan berjalan menuju lemariku, mengambil sesuatu dan berjalan ke kamar mandi. Aku duduk bersandar pada dashboard ranjang selagi menunggu ia keluar.

Damn it!

Ia mengenakan gaun tidur tipis berwarna hitam legam yang waktu itu aku belikan, memamerkan paha indahnya. Gaun itu tersangkut di tubuhnya oleh tali setipis spageti di kedua bahunya dan rambut panjang jatuh terurai di bawah bahunya. Aku menghembuskan nafasku berat saat ia berjalan mendekat padaku. Shit! Aku bahkan sudah keras hanya dengan menatapnya.

Angle pov

Ia menatapku dengan sepasang matanya yang membara, aku tahu aku sudah berhasil membuatnya tergoda, tidak sulit membuat Jimin seperti ini. Jantungku berdetak sangat cepat, semakin cepat seiring langkahku menuju ranjang tempat ia berada. Aku sudah mengumpulkan begitu banyak keyakinan dan aku hanya bisa berdoa dia akan baik-baik saja. Aku harus melakukan ini jika aku ingin tetap bersama Jimin, karena aku tahu aku mungkin tidak akan bisa bertahan jika aku menunggu bulan untuk terbit. Aku ingin bersama manusia ini, yang sudah berhasil meruntuhkan segala peraturan dan kekokohan diriku yang membatasi antara aku dengan dia. Aku tidak keberatan jika nanti aku harus dihukum untuk menjadi manusia karena apa yang aku lakukan ini. Kehilangan sayap dan keabadian tidak sebanding dengan kehilangan dia. Sayap ini tidak akan mampu membuatku kabur dari langit yang penuh dengan gemuruh karena perang yang menyakitkan, dan keabadian tidak akan memberikan kebahagiaan yang kekal.

“Jimin…”

Jemariku meremas kuat rambut emasnya saat bibirnya bergerak dengan baik di leherku. Aku tidak tahu jika bersentuhan bisa senikmat ini. Sesekali ia menggigit leherku, ia tidak akan meninggalkan ruam karena kulitku akan segera kembali membaik dengan sendirinya karena aku masih memiliki sisa-sisa kekuatanku. Tubuhku memanas saat ia menindihku, merasakan bibirnya di bibirku, dadaku menyentuh dadanya dan bagian bawah tubuh kami bersentuhan. Tanganku memeluk erat lehernya selagi bibir kami bertaut erat saling menyerang. Tidak ada yang lebih manis dari ciuman yang Jimin berikan untukku, ada banyak sekali hal indah dan menakjubkan di atas langit tapi tak ada yang bisa membuatku lumer seperti saat Jimin menciumku. Bibirnya sangat lembut dan begitu lihai, aku tidak tahu di mana ia belajar hal semacam ini karena menurutku ia sangat ahli.

“Hah…”

Aku tak bisa menahan lebih lama lagi jika ia terus menggesekkan tubuhnya pada tubuhku seperti ini. Meskipun miliknya masih terlindung oleh piayama dan panty di sana dan aku masih utuh dengan gaun tidurku, aku bisa merasakan ia semakin keras dan besar pada setiap gesekannya ditubuhku dan aku bisa merasakan perutku bergemuruh oleh ribuan kupu-kupu di sana.

Aku duduk di atas pangkuannya dan kami saling menatap dalam diam. Tanganku bergerak menuju kancing teratas piyamanya, melepaskan benda itu satu persatu dan Jimin di hadapanku, mengawasiku begitu hati-hati. Kedua tangannya di pahaku yang tak tertutupi oleh gaun tidur yang aku kenakan dan sesekali jemarinya menggesek pahaku menghantarkan sengatan kenikmatan ke seluruh tubuhku. Semakin jauh aku turun pada kancing piyamanya, semakin tinggi jemarinnya mendaki pada pahaku, dan saat aku sampai pada ujung kancing terakhir, tangannya sudah sampai pada tepi pantyku.

Aku melepaskan tubuh Jimin dari piyama yang ia kenakan dan ia berhasil mengeluarkan aku dari gaun tidur yang aku pakai.

“Kau sangat sempurna…”

Pujiannya terdengar manis di telingaku seiring dengan bibirnya yang menyentuh daun telingaku di setiap kata yang keluar dari bibirnya.

Aku mengambil dasi yang tadi aku bawa bersamaku dan bersiap menutup matanya. Dahinya berkerut, aku tahu ia tidak suka dengan ide ini karena beberpa saat yang lalu ia masih sangat menikmati menatap tubuhku meskipun aku masih berbalut bra dan panty.

“Kenapa kau harus menutup mataku?”

“Percayalah, kau lebih suka melihatku di imajinasimu, aku bisa menjadi sangat mengerikan dan aku tidak mau kau melihatku seperti itu”

“Apa kau akan berubah menjadi nenek tua seperti di dongeng-dongen?”

Aku terkekeh pelan mendengarkan pertanyaan lucunya.

“Tidak Jimin, aku tidak akan mengeriput, kau tidak perlu khawatir. Percayalah, setelah ini kau bisa melihatku sebanyak yang kau mau, tapi tidak untuk malam ini”

Aku berhasil meyakinkannya karena sekarang ia mengangguk. Aku memasangkan dasi itu pada matanya, mengikat kebelakang selagi tangannya di pingganggku, memastikan aku tidak akan kabur.

“Jimin… jika kau merasa tidak bisa menahan rasa sakitnya, kau hanya perlu memintaku untuk berhenti”

Ia mengangguk dan aku mulai melepaskan sisa pakaian di tubuhku, mengepakkan kedua sayapku. Kemudian tanganku bekerja dengan baik melepaskan celana piyama dan panty pada tubuh Jimin. Oke… ini pertama kalinya aku melihat tubuh namja dan aku akui tuhan menciptakan mereka sangat sempurna, atau hanya Jimin yang memiliki tubuh seperti ini.

“Hei… kau masih di sana?”

Aku terbangun dari keterpanaanku menatap tubuh Jimin saat ia menyapaku.

“Hm…”

Gumamanku berhasil menenangkannya sebelum akhirnya aku kembali naik ke atas tubuhnya.

“Hah….”

Skin to skin

Lips to lips

Fingers trhough hairs

Tanganku bergerak pada seluruh bagian tubuhnya dan bibirku menaut bibirnya erat. Aku hanya perlu memastikan ia benar-benar siap. Tangannya menyentuh pinggangku selagi aku sibuk menggesekkan tubuhku di tubuhnya agar ia tidak terlalu sakit.

“AKH…..”

Aku merasa sakit tapi aku tahu Jimin lebih sakit saat aku merasakan aura yang kuat mengalir pada tubuhku. Sayapku bergerak sangat baik dan aku merasa sesuatu yang tak pernah aku alami sebelumnya. Aku tidak pernah sepenuh ini.

Tanganku berpegang erat pada bahu Jimin dan mataku terpusat pada wajahnya yang mengerinyit. Oke… dia mulai kesakitan,

“Jimin… kau baik-baik saja?”

“Tubuhku… tubuhku seolah tertarik sangat kuat. Aku… sesuatu yang panas mengalir di darahku”

Aku mulai ketakutan karena sebulir air mata mengalir di bawah penutup mata yang aku pasang padanya. Aku mulai ketakutan dan aku bersiap melepaskan tubuhku darinya.

“Aku baik-baik saja”

Ia menahan tubuhku dan aku bisa melihat dadanya naik dan turun, ia pasti menahan sakit, aku bisa melihat bagian dalam tubuhnya dengan mataku, jantungnya bergerak terlalu cepat.

“Hngg….”

Bukan hanya Jimin, aku juga merasa sangat sakit karena biar bagaimanapun ia bukan seorang malaikat dan ini adalah pengalaman pertamaku. Aku menggigit bibirku menahan sakit saat darah segar mengalir dari tubuhku di sana saat aku terus bergerak pada tubuhnya.

“Hah…”

Meskipun ini menyakitkan, sesuatu yang manis masih dapat aku rasakan saat tubuhku dan tubuh Jimin bergerak berimana. Sesuatu yang manis yang menjadi satu-satunya penawar dari rasa sakit yang kami rasakan. Aku masih mengkhawatirkan Jimin karena wajahnya semakin pucat dan keringat mengalir deras di tubuhnya.

“Shit!!!! Aaaaaaaaa……”

Aku menelan tangisku saat aku tahu aku sudah menyerap hampir setengah dari jiwa, aura dan tenaganya. Suara teriakannya menandakan ia benar-benar kesakitan.

“Jimin… kita bisa berhenti sekarang”

Suaraku serak karena menahan tangis.

“Berhenti? Kau bilang berhenti? Kita sudah sejauh ini. Kau hanya perlu memastikan aku tetap bisa bernafas saat aku bangun besok pagi”

Aku tahu hal ini tidak akan membunuhnya, tapi rasa sakit bisa membuatnya benar-benar menderita.

“Haaaaaaaahhhh….”

Sesuatu yang hangat mengalir di tubuhku dan aku merasa utuh. Aku menatap pantulan bayanganku pada cermin di sebelahku. Aku bersyukur Jimin tidak melihatku dengan sayap merah darah, mata yang bersinar dan air mataku yang berdarah. Tubuhku mencekung menjadi sangat kurus karena semua bagian dari aura malaikat yang aku miliki, menguap. Aku bisa melihat tulang rusukku sangat jelas begitu juga dengan tulang pipi dan bahuku. Aku terlihat seperti seorang tengkorak yang hanya berlapis kulit.

Aku tak lagi seorang malaikat seutuhnya…

*******

Aku menatap gelisah tubuh tidur Jimin bergantian dengan jam yang ada di dinding kamarnya. Ia pernah mengajarkanku jika jarum pendek pada benda itu mengarah pada angka paling atas, berarti matahari berada di posisi terpanasnya yang artinya siang sudah menjelang sore. Ia masih tertidur dengan lelap, sesekali aku memastikan ia masih bernafas dan beberapa kali mengecek detak jantungnya. Aku sangat gelisah sejak pagi menjelang dan kekhawatiranku semakin memuncak karena Jimin masih belum bangun dari tidurnya, aku takut ia tidak akan terjaga lagi, aku benar-benar khawatir. Beberapa kali aku berjalan mondar mandir berusaha meyakinkan diriku jika dia baik-baik saja, tapi tak ada yang mampu menolongku.

Aku duduk di sebelah tubuh polosnya yang berbaring di balik selimut saat ia bergerak pelan dan matanya bergerak.

“Jimin…”

Ia diam, masih mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Jimin…”

Suaraku mulai serak dan aku bersiap untuk menangis.

“Jim-….”

“Ssssttttt….”

“Jangan menangis”

Kebalikan dari apa yang ia inginkan, aku malah menangis sangat keras. Rasa takut, menyesal dan khawatir membuatku kalap. Aku terus menangis di hadapannya merasa sakit terhadap apa yang sudah aku lakukan padanya.

“Hei… aku baik-baik saja”

Ia menarikku ke dalam pelukannya, meredam tangisku yang masih menggema di kamar ini.

*******

Angle pov

Aku sibuk memotong wortel dan sayuran lainnya mengikuti instruksi dari televise di depanku, aku akan membuatkan Jimin sup. Aku tidak pernah memasak sebelumnya, karena kami tidak memerlukan makanan. Meskipun aku sangat sering berkunjung ke bumi, aku tak pernah benar-benar melakukan apa yang manusia lakukan, biasanya aku hanya mengamati. Aku masih sibuk dengan kentang saat sepasang lengan memeluk perutku.

“Pagi…”

Suaranya lembut dan aroma sabun menyeruak di rongga hidungku. Ia mengintip apa yang sedang aku lakukan dari salah satu bahuku tapi kemudian kembali memelukku erat.

“Jimin… aku tidak bisa memotong kentangnya jika kau memelukku terlalu erat”

Ia terkekeh pelan dengan suaranya yang lembut dan manis, kemudian dengan perlahan melepaskan tubuhku dan bersandar pada counter dapur, sibuk mengamatiku.

“Kau sangat cantik saat sedang serius seperti itu”

Aku menatapnya sejenak saat kalimat itu keluar dari bibirnya. Kalimat gombal yang terdengar menjijikan bagi sebagian orang tapi sangat manis bagiku, membuat isi perutku bergerak tidak karuan.

“Jadi selama ini aku tidak cantik?”

Kemudian ia berdiri lebih dekat dan menatapku lebih intens.

“Kau cantik sepanjang waktu”

Semburat merah membuat kedua pipiku memanas dan aku memilih untuk diam tidak menanggapi penuturannya. Ia berdiri semakin dekat dan semakin dekat hingga wajahnya menyentuh wajahku dan ia mengecup bibirku pelan.

“Kalau begitu aku menunggu masakanmu, semoga berhasil”

******

Aku bersandar pada tubuh Jimin yang juga bersandar pada dashboard ranjang, aku duduk di antara kedua kakinya dan lengannya memeluk perutku dengan erat. Aku dan Jimin sibuk menikmati acara pada televisi di hadapan kami. Sesekali aku tertawa karena ulah si pelakon di salah satu serial drama yang tengah aku saksikan dan saat aku terkekeh pelan Jimin akan mengecup pipiku dan mengatakan jika aku sangat manis saat aku tertawa.

Fokusku pada tayangan drama yang tengah aku saksikan tergoyah saat aku merasakan deru nafas Jimin di tengkukku. Aku merinding saat bibir lembutnya menyentuh leherku yang terbuka. Aku masih berusaha untuk fokus pada dramaku tapi semuanya buyar saat lidahnya mendarat di leherku diikuti oleh gigitan lembut dan ciuman panasnya. Tangannya meraih tanganku yang memegang remot TV dan memencet benda itu sehingga TV dihadapanku berhenti bergerak.

“Hei…. Aku sedang nonton TV”

“Kau yakin masih bisa menonton TV?”

Aku menggigit bibirku saat pertanyaan itu melesat dari mulutnya dan ia menatapku dengan kedua matanya yang sayu, kedua bibirnya sedikit terbuka dan ia berhasil membuatku tak berdaya. Aku menyerah saat bibirnya berhasil mencapai bibirku melumat dengan hebat seperti biasanya dan ia berhasil memposisikan diriku di bawah tubuh dan kuasanya.

Ia tidak menindihku seutuhnya, tapi tubuhnya berada cukup rapat di atas tubuhku dan dadaku menyentuh dadanya.

“Aku bersyukur akhirnya kau memutuskan untuk bersamaku”

“Aku tidak mengatakan aku akan bersamamu”

“Tapi semuanya sudah cukup untuk mengatakan bahwa kau tidak akan bisa meninggalkanku”

Hidungnya menyentuh hidungku dengan lembut dan ia mengecup bibirku pelan.

“Aku sangat berterima kasih pada takdir yang membuatmu jatuh di hadapanku, kau begitu sempurna”

“Jimin… berhentilah menggodaku…”

“Aku tidak bisa, kau terlalu menawan”

Aku yakin wajahku merona sangat keras saat ini.

“Aku sangat suka melihat wajahmu yang seperti ini…”

Kemudian ia tersenyum lembut dan mengecup kedua pipiku.

“Aku tak percaya aku benar-benar bersama seorang malaikat. Apa semua malaikat semenarik dirimu?”

“Kenapa? Kau ingin bertemu dengan mereka?”

Ia terkekeh mendengarkan nada kesal pada pertanyaanku.

“Kau bahkan cemburu saat aku bertanya tentang hal sepele seperti ini. Manis sekali…”

“Aku tidak cemburu…”

Ia diam sejenak kemudian menyampirkan rambut yang menutupi dahi ke telingaku.

“Meskipun aku menemui dewi tercantik sekalipun, bagiku kau tetap yang paling sempurna”

Aku benar-benar sudah tidak tahan dengan semua godaan yang ia lontarkan padaku jadi aku memilih menciumnya lebih dulu, merasakan bibirnya membalas setiap lumatan di bibirku. Bibirnya menyentuh setiap sisi bibirku memastikan aku meraskannya dengan sempurna.

Aku terengah-engah saat ia melepaskan tautan bibir kami. Ia menatap mataku dengan sayu dan bibirnya yang setengah terbuka menarik udara sebanyak-banyaknya. Aku tidak tahu apa yang ia fikirkan karena sekarang ia tengah menggigit bibirnya dan menatapku tajam.

“Aku ingin melihatmu…”

Dengan bersusah payah aku menelan air liurku. Meskipun kami sudah melakukannya tapi ia tidak benar-benar melihatku karena kemarin aku menutup matanya. Ia bangun dari posisi menindihku dan duduk di hadapanku. Aku benar-benar gugup saat tangannya memegang ujung kaos yang aku kenakan, menarik dengan sangat pelan dari kepalaku. Ia menghembuskan nafasnya berat saat ia menatap tubuhku, aku tidak mengenakan apapun di balik hoodieku karena aku hanya memiliki beberapa pasang bra dan panty yang hari ini aku cuci semuanya. Aku mengepalkan tanganku merasa malu karena ia masih menatap tubuhku.

Matanya kembali pada mataku saat ia mengecup salah satu punggung tanganku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh telapak tanganku kemudian menjilat ibu jariku. Shit… aku bahkan hampir mengeluarkan suara aneh saat ia menghisap salah satu jariku.

“Aku menyukai setiap hal pada dirimu”

Suaranya rendah di rahangku sebelum ia mengecup pelan dan turun menuju leherku. Aku hampir saja kehilangan nafasku sejalan dengan ia yang terus turun menuju dadaku.

“Hng…”

Ia menghisapku di sana dan salah satu tangannya meremas dadaku yang lainnya. Lidahnya berputar pada seluruh bagian payudaraku dan aku terhempas pada bantal tak sanggup menahan sensasi luar biasa yang ia hasilkan. Bibirnya turuk ke perutku dan terus menuju pinggangku, meninggalkan bekas di setiap bagian yang ia lewati. Aku meremas kuat seprai merasa sangat gugup saat bibirnya mengecup sisi bagian dalam pahaku, tidak benar-benar menyentuhku di sana dan hal ini membuatku frustasi.

“Rilex beib… kita tidak buru-buru…”

Ia membuka lebar pahaku, mengekspos tubuhku di depan wajahnya dan aku hanya bisa berbaring tidak tahu harus bagaimana, menatap langit-langit apartemen dengan gugup.

“Mhhh….”

Ia menghembuskan nafas beratnya di sana dan berhasil membuatku merinding.

“Shit! Kau sudah sebasah ini, aku bahkan belum benar-benar menyentuhmu…”

1…2…3…

Sebuah jilatan besar membuat aku berteriak keras saat aku merasakan lidah lembutnya di sana.

“Ahhh… Jimin…”

Aku meremas kuat rambutnya saat lidahnya menggoda seluruh organ seksku. Shit!!!!

“Hnggg…. Faster…”

Ia menggerakkan lidahnya lebih cepat di dalam tubuhku. Fuck it! aku lebih baik menjadi manusia asalkan aku bisa selalu merasakan semua kenikmatan ini.

“Hhahh…..”

Gelombang kenikmatan menghempaskanku dan aku terbaring terengah-engah sementara Jimin sibuk membersihkan wajahnya yang terkena cairan milikku. Ia tersenyum nakal sebelum melepaskan semua pakaiannya dengan terburu-buru.

“This time… I’m the leader of the show…”

Aku terkejut saat ia mengangkat tubuhku dan memaksaku menghadap pada cermin di salah satu lemari di kamar ini. Fuck! Apa ini? Aku bahkan sudah mengeluarkan terlalu banyak carut marut dunia hanya dalam hitungan menit. Di langit aku pasti sudah di hukum. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan karena sekarang aku menatap pantulan bayangan diriku tanpa sehelai benangpun dengan Jimin berada di belakangku.

Aku tak bisa menahan rasa malu yang membuatku tak berani menatap cermin besar itu. Bibir Jimin menyentuh bagian bawah telingaku dan aku terkesiap saat tangannya bergerak di dadaku.

“Aku ingin melihat wajahmu dan aku ingin kau melihatku saat aku menyentuhmu”

Apa dia sudah gila? Aku bahkan tidak berani mengangkat kepalaku sekarang. Ini sangat memalukan…

“Jimin… ini sangat memalukan”

Ia menarik daguku dengan salah satu tangannya dan memaksaku mengangkat wajahku, menyaksikan ia menatapku di sana dengan wajah hornynya.

“Ini menyenangkan…”

Tangannya berhasil menarik perhatianku, aku ingin mengalihkan pandanganku tapi aku bahkan tak bisa menggerakkan bola mataku dari tangannya yang bergerak pelan turun menuju perutku. Aku menggigit bibirku keras saat jarinya menyentuhku di sana dan aku menatapnya dengan mata kepalaku sendiri mengirimkan sensasi tidak biasa ke seluruh otak dan perasaanku. Aku tidak pernah mengetahui sisi Jimin yang seperti ini, aku tahu dia sangat pervert tapi aku tak menyangka dia akan melakukan hal semacam ini.

“Hah….”

Matanya menatapku tajam saat dua buah jarinya bergerak keluar dan masuk dengan sangat pelan.

“Ji..Jiminhhhh…”

“You’re so hot baby…”

Aku memegang erat pahanya yang berada di kedua sisi tubuhku, merasa tak sanggup menahan semua kenikmatan ini.

“ahh…”

Saat aku benar- benar sudah dekat, ia berhenti dan aku memperhatikan setiap gerak geriknya di belakangku. Ia mengangkat tubuhku perlahan dan menurunkan ditubuhnya menghasilkan lenguhan hebat dari kami berdua. Ia memposisikan diriku agar ia benar-benar masuk sangat dalam menyentuh bagian terdalam tubuhku.

“Fuckk…”

Dan tubuhku bergerak hebat menghempas pada tubuhnya bertumpu pada kedua pahanya. Pergerakanku semakin cepat saat ia memegang pinggangku memaksaku berpacu sesuai dengan harapannya.

“Nggghhh….”

“Ah…ah…agh…”

“Jimin….”

Rasanya seperti ribuan bintang berputar di kepalaku dan mataku berkunang-kunang. Apa ada hal semacam ini? Kenapa kemarin rasanya tidak seperti ini? Aku menatap wajah Jimin pada pantulan cermin berharap aku tidak membahayakannya karena aku bisa merasakan aliran auranya ke tubuhku, ia sedikit pucat dan keringat mengalir deras di wajahnya tapi tak memperlihatkan tanda-tanda ia merasa sakit atau tersiksa. Justru kebalikannya, matanya menatap sayu pada bagian tubuh kami yang saling menyatu, sesekali ia menggigit bibirnya meredam lenguhan di tenggorokannya, tak jarang ia tak mampu menahan erangannya dan mengeluarkan suara erotis di telingaku, dan saat suara itu melesat keluar dari bibirnya, aku terpesona dengan ekspresi seksinya dengan bibir setengah terbuka.

Hah… hha….ha…”

“Nggggghhhaaaaaaahhhh”

*****

Aku duduk diam di dalam kamar mandi masih terpana dengan apa yang sedang terjadi. Aku masih ingat tadi aku tiba-tiba pingsan setelah mandi dan saat aku sadar semuanya sudah terjadi. Aku menatap cermin kamar mandi dan memperhatikan mataku yang kini sudah berwarna hitam, aku masih memiliki sisa-sisa kemerahan di tubuhku hasil karya Jimin yang seharusnya bisa langsung hilang dalam hitungan menit atau setidaknya jam. Tapi hal yang paling membuatku terkejut adalah dua benda besar yang kini tengah tergeletak di lantai kamar mandi tempat aku pingsan tadi, aku bahkan melukai kepalaku karena kehilangan kesadaran dan membentur dinding bathup. Aku duduk di sana, bersandar pada salah satu dinding kamar mandi dan menatap dua benda yang dulu selalu melekat dipunggungku, yang kini sudah berwarna abu-abu. Aku tidak tahu perasaan semacam apa ini tapi aku merasa sangat ketakutan, sedih dan pilu.

Suara ketukan kamar mandi tak cukup menarikku dari lamunanku sehingga sekarang Jimin sudah masuk dan menatapku terkejut.

“Sayapmu…”

Ia berdiri diam dan aku tak berani mengalihkan pandanganku dari sepasang keindahan yang selalu menemaniku.

Ia tahu benar aku sangat menyayangi sayapku, aku bahkan terus mengelusnya meskipun aku sudah tidak bisa menggunakannya untuk terbang. Ia berlari duduk di sebelahku, menarikku kedalam pelukannya sedangkan aku masih mengumpulkan semua fakta tentang diriku.

“Jimin, aku tidak akan bisa kembali lagi ke langit…aku bukan seorang malaikat lagi”

Aku tidak bisa mendeskripsikan perasaanku, aku sedih pada kenyataan yang terjadi sekarang. Biar bagaimanapun aku tidak pernah membenci fakta bahwa aku seorang malaikat dan aku bahkan sangat membanggakan hal itu. Tapi aku tidak mau meninggalkan Jimin dan kembali pada kehidupan langit, aku terlalu mencintainya. Apa tuhan menghukumku? Apa aku seorang manusia sekarang? Itu artinya…

“Aku tak lagi abadi…”

-end-

Author g masalah kok kalau misalkan di komentarin apapun, yang penting masih di apresiasi, Meskipun Cuma sedikit atau beberapa. Buat author, satu komentar aja udah berarti banget. Makasi banyak buat yang udah bela-belain chat personal, nyari-nyari author di wattpad sama line, sumpah author kaget ternyata ada juga yang suka sama tulisan I, mana banyak lagi hahahaha. Sekali lagi makasi ya meskipun permintaannya g terpenuhi, abisnya author sibuk banget dan bkin ff pasti di sela-sela waktu istirahat kalau g tengah malam T.T. makanya kadang bagus kadan alay hahahaha

4 thoughts on ““Blood, Sweat and Tears”

  1. Keren sekali. Meski udah baca berkali kali tetep suka & selalu suka sama cerita ini kak. Semangattttt buat karya lain ya 😘

  2. Wuhuuu finally setelah lama menanti aku bisa baca cerita ini.. Seperti biasa, simple dan mengena, manisnya tuh pas deh gak berlebihan, i like it…. Untuk ukuran oneshoot ceritanya udah complicated dan sukses buatku berdebar2, pengen deh dibuat sequelnya ..kurang puas aja sih hehehe *plak banyak maunya ya

Leave a comment